Kangen

Bertebaran rasa yang tersimpan terhadap seseorang. Orang yang disayang, dicinta, yang lama tidak bertemu dan sangat ingin ditemui. Itulah rasa kangen. Seperti aku yang juga mempunyai rasa itu. Tetapi rasa kangen untuk diri sendiri. Aku kangen diriku sendiri.

Aku yang doyan tertawa lepas. Aku yang suka ngobrol ngalor ngidul dengan topik cinta dan kemanusiaan. Kangen bicara apa adanya. Bukan mengatur bicara. Kalo di depan si anu harus selalu terlihat bahagia, tidak boleh menyanggah apa pun yang dikatakannya, sesalah apa pun si anu bicara diiyakan saja.

Kalo di depan si ono jangan suka bicara kalo tidak ditanya. Kalo si ene gini kamu jangan gitu. Kalo di depan ono harus baik tahan semua rasa sakit. Biarkan ono bicara apa pun sekali pun itu sebuah penghinaan karena dia jasanya terlalu banyak buat kita. Dan sebagainya … Dan sebagainya.

Aku kangen bersikap baik di depan siapa pun tanpa basa-basi. Tanpa pesan sponsor. Tanpa transaksi jual beli maupun untung rugi.

Aku sering tidak bisa berpikir dengan baik. Aku takut muncul sosok baru dalam tubuhku jika aku tidak nyaman dengan diri sendiri terlalu lama.

Sementara ini aku tidak tahu harus bagaimana. Tetapi aku sudah memupuk tekad akan merangkum dan menyimpan sebuah keputusan.

Ya Allah … Tuntun aku agar suatu hari dapat membuat keputusan yang baik. Yang tepat.

Aku benar-benar kangen.

~~~~~~~

Sda, akhir nop 2020

Titik Terakhir

Mendung sudah mulai menjauh dari langit, tapi hembusan angin yang tiba-tiba datang membawa coretan lengkung luka, dan sedikit sesak oleh rindu yang terbelenggu waktu. 

 

Aku masih duduk dalam balut bayang sosok itu, mungkin tidak adil jika pembiaran hadir bayang-bayang itu menganggu rencanamu,

 

Kedua bola mataku tak menjauh dari rangkaian bintang di batas awan, dua hari lagi memang hari ulang tahunku, Katamu, aku tidak boleh bimbang, semua satu untukmu, katamu lagi,

 

Yaaah,

Sebuah rasa hadir yang mampu membangkitkan keraguan, sekarang kamu memang selalu ada untukku, tali beberapa kali kebohongan muncul mengoyak keyakinan,

 

Aku pernah kehilangan sebuah cinta, kamu sudah tahu itu, tapi kamu datang menawarkan perjalanan indah dengan niat Lillahi ta’ala, seketika runtuh pertahanan hati,

 

Namun, aku manusia biasa, yang pada waktu terhempas di daun talas pun menjadi labil, aku butuh kamu yang kuat dan jujur,

 

Mampukah kamu mengenggamku dari atas bidukmu saat gelombang datang sebelum badai….

 


Sda, akhir jan.20

gendhuk gandhes

 

 

 

Diam

Kesendirian adalah cermin,

Ketika disodorkan perintah mengakhiri kesendirian ada gelenyar perih, jauh dari sini.

Kemungkinan perbedaan waktu akan jelas menggores,

Apalagi jika dia kemudian merasa berat mengemban tanggung jawab,

Kecuali Allah SWT membuka jalan.

Aku ragu untuk mengakhiri,

Mungkin keakrabanku dengan kesendirian adalah takdir.

Kebimbangan

Aku masih duduk berhadapan dengan Atik, seorang gadis berkulit putih bertubuh mungil.  Tinggi badannya memang hanya 155 cm tapi pemikirannya membuat aku betah berlama-lama berbincang dengan  dirinya.

 

“Kenapa harus kamu tinggal to, Tik?” tanyaku.

“Lah wes pie, aku ndak mau kok,” jawab Atik kesal.

“Tapi kamu pernah kan ngomong apa adanya ke dia?”

“Yo wes … sudah.” Kelihatannya Atik bertambah kesal.

“Terus dia jawab apa?”

“Gila. Gila pokoknya.” Atik geleng-geleng kepala kesal.

Aku menatap gadis ayu itu melampiaskan kejengkelannya.

“Mosok aku sudah nolak loh, dari cara yang paling halus sampai terus terang, gamblang, jelas sejelas-jelasnya …tapi dia masih nekat wae. Pie jal…?” 

Atik menatapku tajam.

“Opo?” seruku.

“Dia bilang pernah cerita ke kamu, Wik.” Ucapan Atik langsung tanpa basa-basi.

“Kamu yang nyuruh dia datang ke rumah?” Tuduhan Atik masih berlanjut.

“Ya ndak … Mosok aku nyuruh-nyuruh gitu. Ndak berani aku, Tik,” jawabku.

“Lah terus, kok ya dia senekat ini?”

“Kamu ndak tanya langsung ke orangnya?”

“Males,” jawab Atik ketus.

“Di sini bukan kapasitasku untuk bicara apa-apa ke dia, Tik. Terlalu pribadi.”

“Tapi, kan, dia sudah membuka cerita ke kamu,” kata Atik masih ketus.

“Dia tidak minta pendapatku,” jawabku.

“Anak fisika kok oon gitu, sih?” gumam Atik.

“Apapun itu judulnya cuma satu, Tik. Laki-laki yang sedang jatuh cinta berat dengan gadis pujaannya,” jawabku.

“Tapi ….” Atik bersiap berdalih.

“Itu manusiawi, Tik,” potongku.

“Gilanya, dia mau nunggu sampai aku mau. Edun, kan,” seru Atik.

“Dia kan selama ini hanya berkutat dengan rumus-rumus dan segala senyawa-senyawa di laboratorium,” kataku.

“Apa hubungannya?” seru Atik.

“Laki-laki model Si Ari ini, kan, ndak mudah tertarik pada cewek. Tertarik dalam arti yang dalam. Tertarik dan jatuh cinta sebagai laki-laki pada seorang wanita. Wajar, kan.”

“Ya menjadi ndak wajar kalau dia memaksakan perasaannya,” kata Atik dengan cemberut.

“Terus tadi kamu bilang mau ke mana? Dia tahu, kan, kamu pergi?”

“Tahulah… Dia lagi ngobrol sama mami.” Wajah Atik kelihatan senang saat kalimat barusan meluncur. Mungkin Atik sengaja meninggalkan Ari di rumahnya.

“Kenapa ndak jatuh cinta wae sama kamu to, Wik?”

“Weis! Jangan ngawur kamu, Tik. Dia sebenarnya cocok buat kamu, Tik. Kalian sama-sama kecil mungil.” Aku tersenyum ke arah Atik.

“Sialan kamu,” maki Atik.

Lalu Atik dan aku terkikik bersama. Tiba-tiba mama berdiri di sampingku sambil mencolek pundakku. Di tangannya ada nampan berisi kue tradisional yang dibungkus daun pisang.

“Wik, ada telepon,” kata mama.

“Telepon? Dari siapa, Ma?” tanyaku.

“Dari Ari,” jawab mama ringan sambil meletakkan piring di meja.

“Nagasari, Nak Atik,” kata mama.

“Terima kasih, Te,” jawab Atik.

Mama masuk kembali. Sebelum aku menyibak tirai pembatas ruang makan dengan ruang telepon Atik berseru, “jangan bilang aku di sini, Wik,”

Aku menengok ke arah Atik tanpa meninggalkan jawaban.

 

 

Bulan Suci

Langkah-langkah dalam diam telah mengistirahatkan diri,

Kepenatan terurai dalam balutan kardus-kardus bekas yang tersusun,

Rangkaian malam, dan siang telah menjadikannya sosok pendiam,

Bahkan dalam tatapan tuduhan orang-orang di bangunan-bangunan tembok rumah mereka,

Sosok beralaskan sendal jepit, bahkan telapak kaki polos langsung bersentuhan dengan bumi yang menua,

Seperti usia Sang Sosok,

Merenta perlahan oleh waktu,

°

°

Sosok diam itu juga manusia,

Sama sepertiku,

Dan bulan ini pun sangat dia nantikan,

Kini malamnya selalu dihiasi dengan sujud, dan tengadahkan hati,

Kesadaran akan sosok diam itu akan kepapaan dirinya,

°

°

Bukan papa karena hanya kardus pelindung istirahatnya,

Bukan papa karena kakinya kadang telanjang menapaki hidup,

Bukan papa karena anak satu-satunya jauh dari jangkauannya,

Bukan papa karena hanya satu gentong 500 liter kamar mandinya,

Bukan,

Bukan karena perjuangannya tidak dapat berhenti oleh cita-cita anaknya,

°

°

Bulan ini … Malam-malamnya selalu basah oleh getar doa,

Tidak ada penyesalan dalam gambaran di wajah yang mulai keriput itu,

Tiap tetes keringatnya,

Tiap tapak kakinya melangkah,

telah menambah deretan angka-angka di buku tabungannya,

Namun, dia pun tak segan berbagi dalam keterbatasannya,

Dia hanya ingin berjalan tanpa memikirkan keduniawian,

Hanya satu keresahan yang selalu mewarnai sujudnya,

Nak Jaka, bisakah bapak menyiapkan diri untuk sewaktu-waktu dipanggil pulang ya?”

“Insya allah, Pak. Bapak telah menjalankan semua kewajiban dengan baik. Sebentar lagi Mas Abdul datang menunjukkan semua perjuangan ayahnya selama ini.”

Laki-laki yang selalu diam dalam langkahnya itu duduk di depan rangkaian kardus ditemani secangkir kopi yang masih menguarkan aromanya,

Aku selalu menolak dibuatkan,

Peci hitam lusuh masih menempel di kepala bersama sarung kotak-kotak kiriman Mas Abdul di hari ulang tahun ke 54,

Satu-satunya hadiah ulang tahun yang mampu anaknya berikan,

°

°

Seruputan kedua mengantarkan iris hitamnya menatap langit yang belum gelap,

Kuikuti tatapan laki-laki yang tidak pernah kesepian meskipun selama ini hidup sendirian,

Ada beberapa bintang yang berpencar berjauhan di atas sana,

Sehingga kerlipnya begitu kecil,

Hening sejenak menenggelamkan napas seorang bapak di puncak kerinduannya,

Bertahun-tahun kerja kerasnya telah membuatnya mengharapkan hari ini,

°

°

Dalam diamnya petang hari ini …

Tiba-tiba sebuah suara yang lama tak terdengar memecah angannya,

Seorang pria lima tahun lebih muda dariku telah berdiri dengan tatap kerinduan di sana,

Dadaku berdebar melihat matanya,

Ada bening di bingkai kelopaknya,

Pria gagah dengan tas punggung hitam itu kemudian menjatuhkan kedua lututnya di tanah di hadapan laki-laki bersarung di sampingku,

Bapak…. Terima kasih sudah menjadikan aku pria hebat.”

°

°

Bulan ini benar-benar suci,

***

Selamat menunaikan puasa Ramadan,

 

 

Berdoalah karena ada banyak keajaiban di bulan ini.

gendhukgandhes, 210518

@irfansebs

#Katahatiproduction

#katahatichallenge

 

 

 

 

 

Pagimu

Sudah kembali pagi,

Aku terbangun saat eranganmu kembali terdengar,

Maafkan aku terlambat,

Kekuatan jiwamu adalah semangatku,

Meskipun kau terbaring, tapi selalu mampu membangunkan subuhku,

Tuhan tahu,

Kau selalu menyeru Asma-NYA, walaupun kata sudah tak keluar dari mulut,

Pun di dalam tubuh yang sudah tak mampu kau gerakkan sujudmu tidak pernah tertinggal,

Tuhan tahu,

Senyum di wajahmu,

Tatapanmu yang tenang,

Kau tak pernah mau membiarkan sakitmu mengalahkan kesombonganmu selama ini

Rautmu yang selalu bercahaya merupakan penggambaran keikhlasanmu menerima ketenfuan-NYA,

Tuhan memberi kita sakit karena hendak menghilangkan egoisme, dan kesombongan diri,

Hanya kepada-NYA lah kita kembali.

Pagi sudah datang….

Tatapmu.

Apa yang kau inginkan sama dengan asap yang membumbung tinggi kemudian bubar di udara?

Bagaimana jika asap itu berasal dari solar?

Bukankan solar menguar di udara yang rendah?

Tatapmu aneh,

Mungkin aku yang tidak mengerti apa maumu,

Ataukah memang aku enggan mengikuti sepak terjangmu lagi?